Minggu, 13 Februari 2011

Pendidikan berkarakter?


Sejak zamam nabi Adam hingga hari qiamat nanti,  tugas utama pendidikan  tidak akan pernah berubah yaitu membentuk pribadi anak didik agar memiliki karakter dan watak serta berprilaku  baik, oleh karena itu pembentukan karakter merupakan Ruh dari pendidikan itu sendiri, Pendidikan tanpa pembentukan karakter ibarat jasad tanpa ruh. Berbeda sekali dengan Pengajaran, ruhnya adalah pengetahuan yang bersifat kognitif. Dengan demikian perbedaan keduanya  tampak jelas sekali. Karena obyek pendidikan adalah membangun WATAK sedangkan obyek  pengajaran adalah hanya memompa OTAK dengan ilmu pengetahuan. Jika  pendidikan dan Pengajaran di sekolah  tidak berjalan seimbang tidak mustahil akan melahirkan out put orang-orang pintar yang tidak berkepribadian.( tidak berkarakter yang baik)    
Siapapun merasakan dampak dari krisis moral yang melanda negeri ini. Krisis akut yang membuat bangsa Indonesia tak bangga dengan statusnya sendiri. Seambrek masalah menimpa bangsa ini : korupsi, kebobrokan pengadilan, pornografi, kriminalitas, premanisme, kemiskinan, pengangguran, konflik, dan tawuran antar pelajar/mahasiswa. Segudang permasalahan di atas hampir semuanya dilakukan oleh orang-orang pinter, Lalu kenapa bisa demikian ? Bukankah kita telah menyelenggarakan pendidikan moral ? Lantas, bagaimana untuk menjelaskan tindakan-tindakan di atas yang justru dilakukan oleh “orang-orang terpelajar” dari “ institusi-institusi dan lembaga terhormat” di negeri ini ?
Faktornya sangat kompleks. faktor yang paling mendasar tentu saja adalah karena pendidikan kita berjalan tanpa ruh. Permasalahan ini sesungguhnya bermuara pada rendahnya nilai-nilai moral. Nah, Terkait dengan kenyataan ini Bapak Mentri Pendidikan (Muhammad Nuh ) menekankan pada pendidikan karakter bangsa.  
Karakter itu watak, watak itu semacam budaya. Budaya itu tumbuh karena kebiasaan. ,Jadi watak itu dibangun dari sebuah Pembiasaan. Bagi orang yang sudah biasa berdzikir sholat dhuha, bertahajjud, maka baginya shalat itu tidak akan terasa berat dan shalatnya akan membentuk karakter kepribadian yang positif bagi dirinya. Orang yang biasa nuwun sewu, permisi, itu karena terbiasa. Jadi kita bangun kebiasaan yang positif supaya menjadi sebuah budaya sebagai karakter bangsa, tentu hal  inilah yang dimaksud Berkarakter oleh bapak Menteri pendidikan kita. sebab  orang yang terbiasa dengan prilaku negatif dan tidak disiplin juga akan terbentuk karakter  negatif dalam dirinya. Dengan demikian tidak semua karakter itu berkonotasi baik. Maka dari itu berhati-hatilah memakai istilah  “ berkarakter ” agar tidak terjadi kesalahan di dalam menginterpretasi istilah yang dapat menimbulkan kesalahan dalam membuat kebijakan.
 Untuk membangun karakter ini harus dengan sebuah sistem, dan contoh-contoh kongkrit dari para pendidik seperti yang telah dilakukan Rasulullah SAW tempo dulu, serta melakukan perubahan yang mendasar hingga pada akar masalahnya. Sampai detik ini perubahan yang dilakukan  para penyelenggara pendidikan di Indonesia belum menyentuh esensi permasalahan yang sebenarnya mungkin baru pada tingkat gejalanya saja, bahkan  pergantian istilah-istilah baru yang amat tidak penting terlalu sering terjadi, SMP diganti SLTP lalu diganti SMP lagi, dan banyak sekali contoh serupa, dewasa ini lagi ngetrend-ngetrendnya istilah “BERKARAKTER “. Semuanya berlabel dengan istilah ini.  silabus  berkarakter, RPP berkarakter atau bahkan mungkin nanti akan lahir kurikulum berkarakter  seperti kelatahan-kelatahan selama ini yang melanda dunia pendidikan di Negeri ini. Semuanya akan menjadi sia-sia belaka jika para pendidiknya dan seluruh praktisi pendidikan di Indonesia belum berkarater uswatun hasanah. Kegagalan demi kegagalan sebelumnya dapat dipastikan akan terus terulang kembali. Dengan demikian kita semua harus cepat sadar bahwa  yang paling penting untuk direvisi bukan istilahnya tetapi harus mereformasi MENTALITAS PARA PELAKUNYA, masalah kita saat ini bukan sekedar system error akan tetapi yang paling mendasar justru Humen error, betapa banyak guru yang sudah bersertifikat “Profesional” yang masih bekerja secara amburadul dan layak di keluarkan karena bekerja tidak amanah, betapa banyak guru  yang biasa terlambat datang bahkan sering bolos tanpa merasa berdosa, jika dibiarkan semua ini akan terbentuk karakter yang tidak baik..
Perlu di maklumi bahwa Karakter itu merupakan sifat manusia yang dapat di bentuk dengan cara pembiasaan serta pemberian teladan yang baik artinya seorang guru yang perokok berat tidak akan ada gunanya melarang muridnya agar tidak merokok karena rokok itu berbahaya bagi kesehatan, Dalam hal keteladanan ini Pesantren memiliki peluang yang jauh lebih unggul dalam mewujudkan pendidikan berkarakter. Karena di situ terdapat komonitas yang membangun karakter secara outomatis.  Disamping rutinitas ibadah, juga keteladanan para asatidz hingga lahirnya sikap tunduk,tawadlu” dan tadarruk kepada  kiai.
Dulu di kurikulum kita ada mata pelajaran Pendididkan Moral Pancasila , sekarang PKn,  sejauh mana hal itu berdampak kepada peningkatan moralitas ? anak SMA sudah belajar PKn 12 tahun. Apakah setelah belajar 12 tahun dia bisa berakhlak baik? Apakah dia cinta tanah air? Jawaban yang paling pas adalah “ BELUM ”!, Karena pembelajaran di sajikan  sebatas kognitif, maka tujuan  Itu tidak akan muncul. Bahkan  sebaliknya yang muncul justru  badut-badut berdasi alias koruptor yang melanda berbagai birokrasi. Begitu pula dengan pelajaran  Ipa ,jika guru mampu menyajikan dengan benar berkarakter, murid akan menyadari bahwa seluruh kekayaan alam ini merupakan karunia Allah yang harus disyukuri dan dilestarikan, bukan malah dieksploitasi secara habis-habisan, demikian pula Mata pelajaran Matematika jika disajikan dengan benar, tidak akan pernah ada mathematical error  seperti kasus yang sering kita alami di loket-loket peron terminal  dimana  Rp 1000 – Rp 200 = Rp 600 ( uang kembalinya kurang ), contoh  lain perhatikan kasus berikut ini, karena ada kerja bakti di sekolah, murid bersama kawan kawan sekelas membayar iuran Rp 5000 tiap siswa untuk membeli nasi bungkus. Bendahara kelas yang diberi kepercayaan mengelola uang tersebut membeli nasi itu seharga Rp 4500,sisa uang Rp 500 perbungkus untuk diambil sendiri secara diam-diam, Ternyata mereka hanya pinter kalkulasi uang-uang haram tapi tidak mampu kalkulasi dosa-dosa perbuatannya. ini salah siapa ?. jika ketidak jujuran sudah terjadi di sekolah, maka di mana lagi kita akan dapat menemukan kejujuran tersebut?
Sebagai penutup, penulis ingin mengajak para guru dan para pengambil kebijakan  serta seluruh praktisi agar segera berbenah diri dimulai dari diri kita sendiri. Sebab membangun mentalitas anak didik agar berkarakter  positif harus mensinergikan nilai-nilai moral pada stiap mata pelajaran, memerlukan pembiasaan dengan prilaku positif serta contoh-contoh kongkrit uswatun hasanah dari kita semua , hal ini merupakan tugas utama para pendidik untuk membangun karakter Bangsa..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar